Random Meaning

Random Ayat

Minggu, 17 November 2013

Puasa di Bulan Muharram





Bulan Muharram adalah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran memperbanyak puasa di bulan haram seperti itu.

Anjuran Puasa Muharram

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita melakukan puasa pada bulan Muharram sebagaimana sabdanya :
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah).

Imam Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 55)

Lalu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh Imam Nawawi.
1.       Mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaan banyak berpuasa di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.
2.       Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak puasa pada bulan Muharram. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 55)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab) adalah puasa di bulan Muharram (syahrullah)” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 67)

Dapat dipahami bahwa puasa sunnah mutlaq yang paling afdhol adalah puasa Muharram. Sedangkan puasa muqoyyad (yang ada kaitan dengan waktu tertentu atau berkaitan dengan puasa Ramadhan), maka yang lebih afhol adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa Syawal dari sisi ini lebih afhdol dari puasa Muharram. Puasa Syawal tersebut berkaitan dengan puasa Ramadhan. Oleh karenanya puasa tersebut seperti shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat wajib. Puasa Arafah juga bisa lebih baik dari puasa Muharram dari sisi puasa Arafah sebagai sunnah yang rutin. 

Di antara sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 71). Bulan haram adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab.

Banyak Berpuasa, Tidak Mesti Sebulan Penuh

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kaum muslimin dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram. Jika tidak mampu, berpuasalah sesuai kemampuannya. Namun yang lebih tepat adalah tidak berpuasa Muharram sebulan penuh. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuberkata :
وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِى شَعْبَانَ
Aku tidak pernah melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan. Aku tidak pernah melihat beliau banyak puasa dalam sebulan selain pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim no. 1156).

Yang Lebih Afdhol, Puasa Asyura

Dari sekian hari di bulan Muharram, yang lebih afhol adalah puasa hari ‘Asyura, yaitu pada 10 Muharram. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”(HR. Muslim no. 1162).

Selisihi Yahudi dengan Menambah Puasa Tasu’a (9 Muharram)

Namun dalam rangka menyelisihi Yahudi, kita diperintahkan berpuasa pada hari sebelumnya, yaitu berpuasa pada hari kesembilan (tasu’a). Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)

Ibnu Rajab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 99)

Apa Hikmah Menambah Puasa pada Hari Kesembilan?

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)

Sebagaimana penjelasan dari Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:
1.       Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
2.       Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja. (Lihat Tajridul Ittiba’, hal. 128)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata, “Yang lebih afdhol adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits (Ibnu ‘Abbas), “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.”

Semoga Allah memudahkan kita untuk terus beramal sholih.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Minggu, 25 Agustus 2013

Makna Halal Bihalal


Bagi kita Umat Islam, Idul Fitri bukan sekadar perayaan ritual semata. Idul Fitri yang memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian menjadi momentum yang berbahagia. Bagaimana tidak, di saat Idul Fitri, sebagaimana diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci, Umat Islam lahir  “kembali” seorang manusia yang tidak dibebani dosa apapun. Bagaikan kelahiran seorang anak, yang diibaratkan secarik kertas putih.

Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.

Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti ‘diperkenankan’. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti baik.  Dalam pengertian kedua, kata halal terkait dengan status kelayakan sebuah makanan.
Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman. Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317).

Halal bihalal juga bisa dimaknai secara sosial. Aktivitas ibadah puasa sebulan penuh selama Ramadan selalu mendorong seorang hamba selalu melakukan ibadah. ibadah tidak hanya dilakukan secara vertikal kepada sang Khalik. Selama Ramadan, Umat Islam pun dididik untuk selalu beribadah horisontal (muamalah). Karena itu, selama Ramadan, Umat Islam dilatih untuk selalu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Ramadan penuh dengan pesan etika keshalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan pribadi dengan keshalihan sosial.

Untuk menambah keyakinan kita, ada baiknya kita membaca kisah khalifah Umar. Dikisahkan, pada suatu malam di bulan Ramadan, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik Umar mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis karena kelelahan.
Mengapa anak itu menangis terus, sakitkah? Tanya Umar bin Khattab. Ibu anak itu menjawab, “Tidak, dia menangis karena kelaparan. “
Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala di atasnya ada kuali yang menandakan si ibu sedang memasak.  Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri isinya.
Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu batu. “Mengapa ibu merebus batu?” Tanya Umar.
Ibu itu menjawab, “Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan berhenti menangis. Itu yang dapat saya lakukan sampai tuan datang.”
Terharu Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih.
Saat itu pembantunya mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?”
Langsung Ibu itu menjawab, “Andai di kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.”
Mendengar ucapan itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak pembantunya mengambil sepikul gandum. Umar pun memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.

Kisah itu menggambarkan betapa kokohnya spiritual seorang pemimpin (Umar) dan seorang rakyat jelata (ibu) yang miskin tetapi memelihara prinsip tawaru atau menjaga diri dari sikap meminta-minta. Di sisi lain, ada kekuatan spiritual seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya melayani rakyat.

Sebagai umat Islam yang hidup di zaman modern, kita berharap agar nilai-nilai yang dijalankan Khalifah Umar bin Khattab masih dapat dijalankan oleh para pemimpin di negeri ini yang mayoritas berpenduduk Islam.

Kita juga berharap, ketika kita benar-benar menjadi pemimpin umat kelak, dapat memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya rakyat yang tengah dilanda kelaparan dan kesusahan. Dengan berpuasa, kita berharap dapat meningkatkan rasa kepekaan terhadap kondisi sosial.

Sebagai manifestasi kesalehan individual dan sosial, puasa menjadi sangat penting ketika mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang egaliter, toleran, dinamis dan beradab. Dan, orang yang mampu menciptakan masyarakat seperti itu sudah mendekati ambang puasa ideal.

Nilai-nilai muamalah (kemanusiaan) yang dibawa selama Ramadan ini merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Ia tidak hanya peduli terhadap keshalihan pribadi tapi lebih kepada kesalihan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan keshalihan pribadi kepada keshalihan sosial.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

Minggu, 28 Juli 2013

Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar

Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar (malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadan, yang dalam Al Qur’an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang berdoa pada malam itu maka InsyaAllah Allah akan mengabulkannya.

Rasulullah S.A.W telah bersabda dari Abu Hurairah yang artinya :
“Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar penuh keimanan dan keikhlasan akan diampun baginya dosa yang telah lalu.”

Namun yang menjadi pertanyaan adalah kapan malam Lailatul Qadar tersebut datang ?
Lalu adakah tanda-tanda dari malam Lailatul Qadar ?
Serta apa yang sebaiknya kita lakukan jika seandainya kita telah melihat tanda-tanda akan datangnya malam Lailatul Qadar ?

Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) saat Lailatul Qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. “(Al-Qadr: 1-5)

Berikut Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar atau Ciri-Ciri Malam Lailatul Qadar di hari-hari Akhir Bulan Ramadhan sesuai hadis Rasulullah SAW :

1.       Udara dan suasana pagi yang tenang
Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh /terpercaya)

2.       Cahaya matahari lemah, cerah tapi tak bersinar kuat keesokan harinya
Dari Ubay bin Ka’ab radliyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Keesokan hari malam lailatul qadar adalah matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan” (HR Muslim).

3.       Terkadang terbawa ke dalam mimpi
Seperti yang terkadang dialami oleh sebagian sahabat Nabi radliyallahu’anhum tentang malam lailatul qadar ini.

4.       Bulan nampak separuh bulatan
Abu Hurairoh radliyallahu’anhu pernah bertutur: Kami pernah berdiskusi tentang lailatul qadar di sisi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, beliau berkata,
“Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang berukuran separuh nampan.” (HR. Muslim).

5.       Udara dan angin sekitar terasa tenang
Pada malam lailatul qadar ini akan terasa malam yang begitu terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan). Sebagaimana sebuah hadits, dari Watsilah bin al-Asqo’ dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Lailatul qadar adalah malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan)” (HR. at-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/59 dengan sanad hasan)

6.       Malaikat menurunkan ketenangan pada malam ini
Orang yang beribadah pada malam tersebut merasakan lezatnya ibadah, ketenangan hati dan kenikmatan bermunajat kepada Rabb-nya tidak seperti malam-malam lainnya.

7.       Datang pada Hari Ganjil, di 10 hari terakhir Bulan Ramadhan
Sesuai Sabda Rasulullah :
“Carilah Lailatul Qadar pada (bilangan) ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. “ (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya).
Wallahua’lam.

Itulah Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar atau Ciri-Ciri Datangnya Malam Lailatul Qadar berdasarkan sabda Rasulullah SAW.

Lalu kembali datang pertanyaan dibenak kita, Apa yang harus kita lakukan jika kita telah mengetahui tanda-tanda datangnya malam lailatul qadar tersebut ? 
Jika kita telah mengetahui akan tanda-tanda kedatangannya malam yang agung ini, maka seyogyanya kita hendaknya banyak-banyak berdo’a lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah.

Beliau radhiyallahu ‘anha berkata, ”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang akan aku katakan di dalamnya?"

Beliau menjawab :
”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (artinya ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)


Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk mendapatkan malam lailatul qadar malam yang keutamaannya lebih baik dari 1000 bulan. Aminnnnn.

Sumber : http://edukasi.kompasiana.com

Sabtu, 15 Juni 2013

Keutamaan Bulan Ramadhan

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Sebentar lagi kita akan menginjak bulan Ramadhan. Sudah saatnya kita mempersiapkan ilmu untuk menyongsong bulan tersebut. Insya Allah, kesempatan kali ini dan selanjutnya, muslim.or.id mulai menampilkan artikel-artikel seputar puasa Ramadhan. Semoga dengan persiapan ilmu ini, ibadah Ramadhan kita semakin lebih baik dari sebelumnya.

Ramadhan adalah Bulan Diturunkannya Al Qur’an

Bulan ramadhan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih  sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula Al Qur’an diturunkan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa –yaitu bulan Ramadhan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ’alaihimus salam.”[1]

Setan-setan Dibelenggu, Pintu-pintu Neraka Ditutup dan Pintu-pintu Surga Dibuka Ketika Ramadhan Tiba

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”[2]

Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Hadits di atas dapat bermakna, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam dan terbelenggunya setan-setan sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan dan mulianya bulan tersebut.” Lanjut Al Qodhi ‘Iyadh, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan hal maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.” [3]

Terdapat Malam yang Penuh Kemuliaan dan Keberkahan

Pada bulan ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah –yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan- saat diturunkannya Al Qur’anul Karim.
Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr: 1-3).

Dan Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan: 3). Yang dimaksud malam yang diberkahi di sini adalah malam lailatul qadr. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah[4]. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di antaranya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.[5]

Bulan Ramadhan adalah Salah Satu Waktu Dikabulkannya Do’a

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.”[6]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizholimi”.[7] An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdo’a dari awal ia berpuasa hingga akhirnya karena ia dinamakan orang yang berpuasa ketika itu.”[8] An Nawawi rahimahullah mengatakan pula, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa ketika ia dalam keadaan berpuasa untuk berdo’a demi keperluan akhirat dan dunianya, juga pada perkara yang ia sukai serta jangan lupa pula untuk mendoakan kaum muslimin lainnya.”[9]

Raihlah berbagai keutamaan di bulan tersebut, wahai Saudaraku!
Semoga Allah memudahkan kita untuk semakin meningkatkan amalan sholih di bulan Ramadhan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id            

[1] Tafsir Al Qur'an Al'Azhim, 2/179
[2] HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
[3] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/188.
[4] Tafsir Ath Thobari, 21/6.
[5] Zaadul Masiir, 7/336-337.
[6] HR. Al Bazaar, dari Jabir bin ‘Abdillah. Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (10/149) mengatakan bahwa perowinya tsiqoh (terpercaya). Lihat Jaami’ul Ahadits, 9/224.
[7] HR. At Tirmidzi no. 3598. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[8] Al Majmu’, 6/375.

[9] Idem.

Kamis, 02 Mei 2013

Dahsyatnya Istigfar



1. Apakah sahabat merindukan perasaan nyaman, bebas galau, dada lapang, jiwa tenang, hati tentram dan mendapatkan kenikmatan yang baik?
Maka istgfarlah amalannya:
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. (Qs Hud: 3)


2. Apakah sahabat ingin memiliki badan kuat, tubuh sehat, selamat dari bencana, malapetaka dan penyakit?
Simaklah :
“Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." (Qs Hud 52)


3. Apakah sehabat ingin selamat dari bala' dan aman dari fitnah, cobaan, serta menghindari musibah ?
Beristighfarlah! :
“.Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Qs Al Anfal 33)


4. Apakah sahabat mengharapkan hujan lebat, keturunan yang baik, anak sholeh, harta halal dan rejeki yang melimpah?
Maka hendaklah kamu beristighfar! :
“Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”(Qs Nuh: 10-12).


5. Apakah sehabat ingin dosa-dosa dihapuskan, memperbanyak kebaikan dan mengangkat derajat?
Istigfarlah kuncinya :
“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: "Bebaskanlah kami dari dosa", niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik(Qs Al Baqoroh: 58).


"Barangsiapa memperbanyak istighfar (memohon ampunan-Nya), niscaya Allah akan menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar, dan setiap kesempitannya kelapangan, dan Allah mengaruniainya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya." (HR. Ahmad)

Rosululloh shalallohu ‘alaihi wasallam yang tanpa dosa , 100 x beristigfar setiap hari
Mari kita perbanyak istgfar.. Sesering mungkin,, setulus mungkin..fokuslah untuk memohon ampunan-Nya..
Dan silakan nikmati janji-janji-NYA yang pasti dipenuhi..


Sumber: KH. Abdullah Gymnastiar, http://www.dianasari.web.id

Sabtu, 20 April 2013

Muslimah Sejati Bergaul Secara Syar'i



Bergaul dan memiliki banyak teman adalah fitrah setiap manusia, tak terkecuali bagi para muslimah. Allah SWT pun menyampaikan hal ini dalam firman-Nya,


“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu  dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah   orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”  (QS. Al Hujurat:13)


Pergaulan dalam Islam

Dalam Islam, adab bergaul sangat diperhatikan. Betapa pentingnya adab dalam begaul, hingga Allah SWT mengutus Rasulullah saw untuk memberikan teladan dalam bergaul dengan sesama manusia.

Dari Aisyah ra. ketika ditanya akhlaq Nabi saw, beliau menjawab, “Akhlaq beliau (Nabi saw) adalah Al Qur’an.” Kemudian Aisyah ra. membacakan ayat yang artinya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qalam:4)

Rasulullah saw bersabda,

“Bertaqwalah kalian kepada Allah di mana pun kamu berada, ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya, dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim)

Hubungan yang terjadi antara seseorang dengan seorang yang lain tidak hanya berdasarkan nasab, tapi juga berdasarkan ikatan lain. Akan tetapi, di antara banyak ragam ikatan dalam hubungan antar manusia, yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah ikatan berdasarkan aqidah. Kekuatan ikatan aqidah melebihi ikatan yang terjalin berdasarkan hubungan darah.

Allah SWT berfirman,

“Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfak-kan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfal:63)

Hubungan yang terjadi atas kesatuan aqidah merupakan karunia terbaik dari Allah SWT yang harus senantiasa dijaga. Dengan ikatan ini, interaksi yang terjalin karena alasan lainnya dapat dihilangkan. Tidak ada lagi fanatisme kesukuan atau golongan yang merendahkan orang lain di luar kelompoknya. Hubungan ‘untung-rugi’ dengan latar belakang ekonomi tak lagi diperhitungkan. Permusuhan dan kebencian karena perbedaan dapat dimusnahkan lalu berganti dengan keikhlasan karena Allah SWT. Bukankah ini adalah nikmat yang luar biasa.

Bergaul yang Membawa ke Surga

Niat yang Lurus

Niat kita dalam bergaul pun mutlak harus diperhatikan. Karena jelas, hal itu akan menentukan berjalannya sebuah pertemanan antara seseorang dengan orang lain.Berkenaan dengan niat, Rasulullah saw bersabda,

“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari-Muslim)

Merujuk pada hadits di atas, dalam berteman hendaknya kita berniat semata-mata karena Allah. Yaitu, menjadikan kawan sebagai penolong dalam urusan dunia maupun akhirat. Dan tentu saja juga sebagai pendukung dalam menaati hukum-hukum Allah agar selamat di dunia dan di akhirat.

Dengan niat yang lurus ini, semoga Allah membimbing kita pada sahabat yang senantiasa membawa kebaikan dunia dan akhirat.

Pilih-pilih Teman

Pilih-pilih teman biasanya diidentikan dengan kesombongan. Maunya berteman dengan si anu, dan tidak mau dekat-dekat dengan si anu.

Benar, jika dalam urusan pilih-pilih teman ini kita sandarkan pada urusan dunia yang sifatnya materialistis. Misalnya, apakah kita berteman dengan seseorang karena dia kaya, cantik, punya status sosial yang tinggi, dan lain sebagainya. Tentu saja bukan karena hal-hal demikian kita diharuskan dalam memilih teman.

Islam menganjurkan agar kita hati-hati dalam memilih teman dengan tujuan agar kita tidak berteman melainkan dengan orang-orang mukmin yang shalih dan taat beragama. Sebab, tak dapat dipungkiri, teman cepat atau lambat akan memberikan pengaruh terhadap diri kita.  Tabiat dan watak seseorang dapat terbentuk melalui pergaulan dan interaksi dengan lingkungan sekitar.

Rasulullah saw bersabda,

“Sesungguhnya perumpamaan teman baik dengan teman buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi maka dia akan menghadiahkannya kepadamu atau kamu membeli darinya atau kamu akan mendapat aroma wanginya. Adapun pandai besi maka boleh jadi ia akan membakar tubuhmu atau pakaianmu atau engkau akan mencium bau busuk darinya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Lalu, bagaimana sebenarnya ciri teman yang baik? Yang pertama, tentunya ia haruslah seorang mukmin sebagaimana sabda Rasulullah saw,

“Janganlah kamu mengambil teman kecuali yang mukmin...” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Karakteristik orang mukmin adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman (mukmin) adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS. Al Anfal:2)

Yang kedua, ciri teman yang baik adalah yang berakhlaq mulia. Sangat penting menilai akhlaq seorang teman, sebab tabiat manusia memiliki kecenderungan untuk meniru orang yang ada di dekatnya. Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya manusia itu seperti sekawanan burung, selalu tertarik untuk saling meniru satu sama lainnya.”

Akhlaq yang mulia mendatangkan kecintaan Allah dan juga kasih sayang manusia. Rasulullah saw bersabda,

"Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya, yang paling lapang dadanya, yang mudah bersahabat dan disahabati. Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak bersahabat dan tidak disahabati.” (HR. Ath-Thabrani)

Pahami Hakikat Persaudaraan

Kunci utama dalam membina persahabatan adalah niat yang lurus untuk membangun ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan memegang aqidah dan pedoman yang haq. Jika aqidah telah merasuk ke dalam hati maka akan membawa perasaan cinta dan bersaudara karena Allah semata.

Rasulullah saw bersabda,

“Seorang lelaki mengunjungi saudaranya (seiman) di kota lain. Lalu Allah mengirim seorang malaikat untuk mengikuti perjalanannya. Tatkala bertemu dengannya malaikat itu bertanya, ‘Kemanakah engkau hendak pergi?’ Ia menjawab, ‘Aku hendak mengunjungi saudaraku di kota ini.’ Malaikat itu bertanya lagi, ‘Adakah suatu keuntungan yang engkau harapkan darinya?’ Ia menjawab, ‘Tidak ada, hanya saja aku mencintainya karena Allah.’ Maka, malaikat itu berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karena Allah.’” (HR. Bukhari-Muslim)

Tidak terbantahkan lagi bahwa kunci yang paling penting dalam pertemanan adalah menghadirkan Allah dalam landasan hubungan dan kasih sayang di antara mereka. Sebab, Allah menetapkan cinta-Nya bagi orang yang saling mencintai karena Dia.

Agar Pergaulan Tak Jadi Sesalan



Pada akhirnya, kita akan mendapati bahwa teman yang tidak baik akan membawa temannya ke dalam keburukan di dunia dan mendorong ke dalam neraka di akhirat.

Teman yang jahat akan membawa temannya ke jurang bencana dan mengantarkannya ke neraka jahanam. Dan di akhirat mereka akan berubah menjadi musuh yang saling menjatuhkan.

Allah SWT berfirman,

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh  bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS.Az Zukhruf:67)

Seorang mukmin itu ibarat cermin bagi mukmin lainnya. Ketika ia melihat sahabatnya maka seolah-olah ia melihat dirinya sendiri.

Rasulullah saw bersabda,

“Mukmin itu ibarat cermin bagi mukmin lainnya yang senantiasa mencegah saudaranya dari kebangkrutan dan senantiasa melindunginya dari marabahaya.” (HR. Abu Dawud)


Teman yang baik akan mencegah kita dari kebangkrutan. Ia memberi nasehat berharga saat kita khilaf, menjaga dan membela kehormatan kita tatkala kita tak berada di sampingnya. Menghibur kita tatkala sedih dan membantu kita saat membutuhkan pertolongan. Walalupun tak berhubungan darah, tidak ada keuntungan harta yang diperoleh, dan tidak ada ikatan duniawi. Tujuannya, hanya ridho Allah di dunia dan di akhirat. Wallahu’alam bishowwab.m.com

Sumber : http://www.suara-islam.com