Random Meaning

Random Ayat

Senin, 13 Januari 2014

Membangkitkan Kecintaan kepada Nabi SAW


Bulan Rabiul Awal merupakan bulan yang sangat bersejarah dan berharga bagi umat islam didunia. Dimana pada bulan ini Alloh SWT telah mengaruniakan kepada kita umat manusia, seorang Nabi dan Rasul bernama Muhammad bin Abdullah sebagai rahmat bagi alam semesta alam. Sebagaimana firman-Nya,“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya; 107).

Tanggal 12 Rabi’ul Awal telah menjadi salah satu tanggal istimewa bagi sebagian kaum muslimin. Tanggal ini dianggap sebagai hari kelahiran Nabi akhir zaman, sang pembawa risalah, penyempurna iman, Nabi agung Muhammad shallallahu alaihi wa ‘alaa alihi wa sahbihi wa sallam. Beliau merupakan sosok teladan umat muslim yang pada sosoknya lah kita berkaca terhadap semua tindak tanduk yang kita perbuat setiap harinya.


Tanggal 12 Rabiul Awal ini biasa disebut Maulid Nabi atau Maulud saja. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Jadi Maulid Nabi Muhammad SAW (bahasa Arab mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Peringatan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Peringatan ini bukan sekedar mengenang sebatas kelahiranya saja, lebih dari itu Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kita selaku umatnya kepada Nabi Muhammad SAW. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW.


Diantaranya banyak menyebut manaqib (kisah hidup) dan kepribadian beliau yang mulia, menjalankan sunnah-sunnahnya yang agung, dan banyak bershalawat kepadanya. Sebagaimana hadist nabi yang artinya :Di antara umatku yang paling cinta kepadaku adalah orang-orang yang hidup sesudahku, yang salah seorang di antara mereka ingin melihatku walau harus mengorbankan keluarga dan harta benda.” (HR. Muslim) Salah satu bentuk kecintaan kita kepada beliau adalah bershalawat, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam al quran surah al ahzab ayat 56 yang artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al Ahzab: 56).


Asy Syaikh As Sa’di berkata: “(Dalam ayat ini) terdapat penjelasan tentang kemuliaan Rasulullah , ketinggian derajatnya, mulianya kedudukan beliau di sisi Allah dan di sisi makhluknya. Dan sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat, yaitu memujinya di hadapan para malaikat dan kelompok makhluk yang mulia, yang menunjukkan kecintaan-Nya kepada Nabi dan para malaikat yang dekat (dengan Allah) memberi pujian, mendo’akan serta merendahkan diri kepadanya. Maka wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepadanya dan ucapkanlah salam dalam rangka mengikuti Allah dan para malaikat-Nya serta sebagai balasan baginya atas sebagian hak-hak beliau atas kalian dan untuk menyempurnakan keimanan kalian. Mengagungkannya, mencintai dan memuliakan nya, serta untuk menambah kebaikan-kebaikan dan menghapus kesalahan-kesalahan kalian.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 671)


Berangkat dari sini sudah sepantasnya, kita selaku umatnya selalu bersholawat kepada nabi. sebagai bentuk kecintaan kita kepada nabi. bersholwat ketika duduk, berdiri ataupun berjalan. Bersholawat Ketika pagi siang sore maupun malam. Kita berharap semoga dengan peringatan maulid nabi ini menambah kecintaan kita kepada nabi dan kembali bersemangat menjalankan sunnah-sunnahnya yang agung .

Minggu, 17 November 2013

Puasa di Bulan Muharram





Bulan Muharram adalah di antara bulan haram. Amalan sholih yang diperintahkan saat itu adalah berpuasa. Dan ada anjuran memperbanyak puasa di bulan haram seperti itu.

Anjuran Puasa Muharram

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita melakukan puasa pada bulan Muharram sebagaimana sabdanya :
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah).

Imam Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 55)

Lalu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh Imam Nawawi.
1.       Mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaan banyak berpuasa di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.
2.       Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak puasa pada bulan Muharram. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 55)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab) adalah puasa di bulan Muharram (syahrullah)” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 67)

Dapat dipahami bahwa puasa sunnah mutlaq yang paling afdhol adalah puasa Muharram. Sedangkan puasa muqoyyad (yang ada kaitan dengan waktu tertentu atau berkaitan dengan puasa Ramadhan), maka yang lebih afhol adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa Syawal dari sisi ini lebih afhdol dari puasa Muharram. Puasa Syawal tersebut berkaitan dengan puasa Ramadhan. Oleh karenanya puasa tersebut seperti shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat wajib. Puasa Arafah juga bisa lebih baik dari puasa Muharram dari sisi puasa Arafah sebagai sunnah yang rutin. 

Di antara sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 71). Bulan haram adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab.

Banyak Berpuasa, Tidak Mesti Sebulan Penuh

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kaum muslimin dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram. Jika tidak mampu, berpuasalah sesuai kemampuannya. Namun yang lebih tepat adalah tidak berpuasa Muharram sebulan penuh. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuberkata :
وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِى شَعْبَانَ
Aku tidak pernah melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan. Aku tidak pernah melihat beliau banyak puasa dalam sebulan selain pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim no. 1156).

Yang Lebih Afdhol, Puasa Asyura

Dari sekian hari di bulan Muharram, yang lebih afhol adalah puasa hari ‘Asyura, yaitu pada 10 Muharram. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”(HR. Muslim no. 1162).

Selisihi Yahudi dengan Menambah Puasa Tasu’a (9 Muharram)

Namun dalam rangka menyelisihi Yahudi, kita diperintahkan berpuasa pada hari sebelumnya, yaitu berpuasa pada hari kesembilan (tasu’a). Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)

Ibnu Rajab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 99)

Apa Hikmah Menambah Puasa pada Hari Kesembilan?

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)

Sebagaimana penjelasan dari Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:
1.       Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
2.       Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja. (Lihat Tajridul Ittiba’, hal. 128)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata, “Yang lebih afdhol adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits (Ibnu ‘Abbas), “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.”

Semoga Allah memudahkan kita untuk terus beramal sholih.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Minggu, 25 Agustus 2013

Makna Halal Bihalal


Bagi kita Umat Islam, Idul Fitri bukan sekadar perayaan ritual semata. Idul Fitri yang memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian menjadi momentum yang berbahagia. Bagaimana tidak, di saat Idul Fitri, sebagaimana diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci, Umat Islam lahir  “kembali” seorang manusia yang tidak dibebani dosa apapun. Bagaikan kelahiran seorang anak, yang diibaratkan secarik kertas putih.

Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.

Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti ‘diperkenankan’. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti baik.  Dalam pengertian kedua, kata halal terkait dengan status kelayakan sebuah makanan.
Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman. Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317).

Halal bihalal juga bisa dimaknai secara sosial. Aktivitas ibadah puasa sebulan penuh selama Ramadan selalu mendorong seorang hamba selalu melakukan ibadah. ibadah tidak hanya dilakukan secara vertikal kepada sang Khalik. Selama Ramadan, Umat Islam pun dididik untuk selalu beribadah horisontal (muamalah). Karena itu, selama Ramadan, Umat Islam dilatih untuk selalu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Ramadan penuh dengan pesan etika keshalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan pribadi dengan keshalihan sosial.

Untuk menambah keyakinan kita, ada baiknya kita membaca kisah khalifah Umar. Dikisahkan, pada suatu malam di bulan Ramadan, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik Umar mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis karena kelelahan.
Mengapa anak itu menangis terus, sakitkah? Tanya Umar bin Khattab. Ibu anak itu menjawab, “Tidak, dia menangis karena kelaparan. “
Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala di atasnya ada kuali yang menandakan si ibu sedang memasak.  Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri isinya.
Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu batu. “Mengapa ibu merebus batu?” Tanya Umar.
Ibu itu menjawab, “Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan berhenti menangis. Itu yang dapat saya lakukan sampai tuan datang.”
Terharu Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih.
Saat itu pembantunya mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?”
Langsung Ibu itu menjawab, “Andai di kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.”
Mendengar ucapan itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak pembantunya mengambil sepikul gandum. Umar pun memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.

Kisah itu menggambarkan betapa kokohnya spiritual seorang pemimpin (Umar) dan seorang rakyat jelata (ibu) yang miskin tetapi memelihara prinsip tawaru atau menjaga diri dari sikap meminta-minta. Di sisi lain, ada kekuatan spiritual seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya melayani rakyat.

Sebagai umat Islam yang hidup di zaman modern, kita berharap agar nilai-nilai yang dijalankan Khalifah Umar bin Khattab masih dapat dijalankan oleh para pemimpin di negeri ini yang mayoritas berpenduduk Islam.

Kita juga berharap, ketika kita benar-benar menjadi pemimpin umat kelak, dapat memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya rakyat yang tengah dilanda kelaparan dan kesusahan. Dengan berpuasa, kita berharap dapat meningkatkan rasa kepekaan terhadap kondisi sosial.

Sebagai manifestasi kesalehan individual dan sosial, puasa menjadi sangat penting ketika mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang egaliter, toleran, dinamis dan beradab. Dan, orang yang mampu menciptakan masyarakat seperti itu sudah mendekati ambang puasa ideal.

Nilai-nilai muamalah (kemanusiaan) yang dibawa selama Ramadan ini merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Ia tidak hanya peduli terhadap keshalihan pribadi tapi lebih kepada kesalihan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan keshalihan pribadi kepada keshalihan sosial.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

Minggu, 28 Juli 2013

Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar

Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar (malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadan, yang dalam Al Qur’an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang berdoa pada malam itu maka InsyaAllah Allah akan mengabulkannya.

Rasulullah S.A.W telah bersabda dari Abu Hurairah yang artinya :
“Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar penuh keimanan dan keikhlasan akan diampun baginya dosa yang telah lalu.”

Namun yang menjadi pertanyaan adalah kapan malam Lailatul Qadar tersebut datang ?
Lalu adakah tanda-tanda dari malam Lailatul Qadar ?
Serta apa yang sebaiknya kita lakukan jika seandainya kita telah melihat tanda-tanda akan datangnya malam Lailatul Qadar ?

Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) saat Lailatul Qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. “(Al-Qadr: 1-5)

Berikut Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar atau Ciri-Ciri Malam Lailatul Qadar di hari-hari Akhir Bulan Ramadhan sesuai hadis Rasulullah SAW :

1.       Udara dan suasana pagi yang tenang
Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh /terpercaya)

2.       Cahaya matahari lemah, cerah tapi tak bersinar kuat keesokan harinya
Dari Ubay bin Ka’ab radliyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Keesokan hari malam lailatul qadar adalah matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan” (HR Muslim).

3.       Terkadang terbawa ke dalam mimpi
Seperti yang terkadang dialami oleh sebagian sahabat Nabi radliyallahu’anhum tentang malam lailatul qadar ini.

4.       Bulan nampak separuh bulatan
Abu Hurairoh radliyallahu’anhu pernah bertutur: Kami pernah berdiskusi tentang lailatul qadar di sisi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, beliau berkata,
“Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang berukuran separuh nampan.” (HR. Muslim).

5.       Udara dan angin sekitar terasa tenang
Pada malam lailatul qadar ini akan terasa malam yang begitu terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan). Sebagaimana sebuah hadits, dari Watsilah bin al-Asqo’ dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Lailatul qadar adalah malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan)” (HR. at-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/59 dengan sanad hasan)

6.       Malaikat menurunkan ketenangan pada malam ini
Orang yang beribadah pada malam tersebut merasakan lezatnya ibadah, ketenangan hati dan kenikmatan bermunajat kepada Rabb-nya tidak seperti malam-malam lainnya.

7.       Datang pada Hari Ganjil, di 10 hari terakhir Bulan Ramadhan
Sesuai Sabda Rasulullah :
“Carilah Lailatul Qadar pada (bilangan) ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. “ (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya).
Wallahua’lam.

Itulah Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar atau Ciri-Ciri Datangnya Malam Lailatul Qadar berdasarkan sabda Rasulullah SAW.

Lalu kembali datang pertanyaan dibenak kita, Apa yang harus kita lakukan jika kita telah mengetahui tanda-tanda datangnya malam lailatul qadar tersebut ? 
Jika kita telah mengetahui akan tanda-tanda kedatangannya malam yang agung ini, maka seyogyanya kita hendaknya banyak-banyak berdo’a lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah.

Beliau radhiyallahu ‘anha berkata, ”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang akan aku katakan di dalamnya?"

Beliau menjawab :
”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (artinya ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)


Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk mendapatkan malam lailatul qadar malam yang keutamaannya lebih baik dari 1000 bulan. Aminnnnn.

Sumber : http://edukasi.kompasiana.com